Selamat Datang di BLOG RINZI,PERJALANAN MENGGAPAI RIDHO ILLAHI

Selasa, 25 Maret 2008

Di Kampong Cham, Lupakan Saja Putri Campa

Legenda Putri Campa (atau Putri Cempo) dalam sejarah Majapahit dan Demak nyaris selalu menyertai bayangan orang setiap kali bicara tentang Kamboja, Thailand, atau Vietnam. Dia digambarkan sebagai sosok putri cantik, berkulit kuning dengan pipi merah dadu yang dipersunting Raja Majapahit Prabu Brawijaya Pamungkas. Dan dari putri berdarah Indochina itulah lahir Raden Patah, atau Sultan Fatah, yang juga dikenal sebagai Pangeran Jimbun, pendiri kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, Demak Bintara.

Dari mana tepatnya asal usul putri itu, apakah dari keturunan Kerajaan Melayu Campa di Vietnam tengah, putri boyongan dari negeri Siam, atau dari kawasan yang kini menjadi salah satu provinsi di Kerajaan Kamboja bernama Kampong Cham? Provinsi tersebut berada sekitar 120 kilometer ke arah timur laut dari Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Namanya saja legenda, ya walluhua'lam bissawab.

Merekatkan kedekatan Kamboja, khususnya Campa dengan sejarah Jawa memang beralasan. Terdapat bukti kuat lewat prasasti-prasasti mengenai hubungan antara Jawa dan Sriwijaya dengan Kerajaan Angkor di masa Raja Jayawarman II pada abad kedelapan.

Hubungan itu terkesan semakin rekat bila kita melihat Kampong Cham yang berpenduduk dengan mayoritas muslim. Sebagian dari mereka berbahasa Melayu Cham dan memiliki aksara Jawi (huruf Arab gundul). Dalam komposisi sekitar 12 juta jiwa penduduk Kamboja, yang beragama Islam diperkirakan mencapai sekitar satu juta jiwa. Kalau dalam hitungan itu terdapat 25 masjid, maka sedikitnya ada 25 kampung muslim di seluruh Kamboja, termasuk di Phnom Penh dan di Provinsi Battambang. Jumlah penduduk muslim itu, pada pertengahan 1970-an sempat menyusut drastis ketika rezim komunis Pol Pot melakukan intimidasi dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan keyakinannya.

Orang Kamboja beragama Islam, menurut Muhammad Ismail, sopir di KBRI Phnom Penh yang berdarah Cham, disebut sebagai "Muslim Khmer". Mereka dikoordinasikan oleh Majelis Tertinggi Agama Islam Kamboja di ibu kota Phnom Penh, tepatnya di kawasan Chrang Chomreh.

Keturunan Vietnam

Penduduk Cham yang biasa disebut sebagai Melayu Cham merupakan keturunan orang-orang Vietnam tengah yang hijrah pada 300 tahun lalu akibat kecamuk perang di negaranya. Gelombang kepindahan itu bukan hanya ke Kamboja, tetapi juga ke Semenanjung Melayu, Aceh, dan kepulauan Hainan.

Tetapi bila Anda berada di Kampong Cham, jangan sekali-sekali membayangkan bisa bersua dengan sosok seperti Putri Campa di sana. Lupakanlah segera sang Putri. Pupuskan segera bayangan kemegahan sebuah istana, selaiknya citra yang mengiringi kehidupan para putri. Apa pasal? Alih-alih menjumpai citra seperti itu, Anda justru akan melihat sejumlah kondisi serba-memprihatinkan di banyak kampung muslim. Hanya ada rumah-rumah panggung dari bangunan kayu kumuh dengan lingkungan masih sangat tradisional dan berfasilitas seadanya.

Siang itu, di dusun Chrua, di tepian Sungai Mekong, anak-anak lelaki berlarian dengan hanya bercelana pendek tanpa mengenakan baju atau kaus. Para perempuan bertransaksi di warung-warung kecil yang berada di mulut kampung. Sejumlah di antara mereka mengenakan kerudung, beberapa tampil "modis", tetapi tetap saja itu tidak menghapus kesan kekumuhan akibat belitan kemiskinan.

Dengan sekali bertanya, cukup sudah buat saya untuk tahu di mana "pusat kegiatan" yang harus saya tuju. Sebuah masjid! Ah, mungkin lebih tepat disebut surau kecil. Itu bangunan paling bagus di antara rumah-rumah panggung yang berderet di tiap sisi jalan. Bangunan kayu sederhana sekitar 10 X 5 meter itu berdiri sedikit di atas ketinggian tanah, menyisakan halaman yang dari kondisinya terlihat seperti bekas bangunan masjid. Sebidang tanah dengan sisa-sisa serpihan lantai keramik itu dipakai untuk shalat Jumat atau shalat id setiap kali jamaah membeludak.

Saya berani menjamin, Anda bakal tidak tega menyaksikan kondisi masjid yang dibangun pada 1974 itu. Ada kesan kuat kalau para pembangunnya ingin membuat interiornya terlihat "gagah" dengan plafon halus. Di atas mihrab sederhana terletak sebuah jam penunjuk waktu shalat dengan tulisan dhuhur sampai shubuh menggunakan huruf Jawi.

Tikar masjid terlihat kusam, tanpa sehelai sajadah pun di sana. Semua itu mewartakan: begitulah keadaan masyarakat Cham di Dusun Chrua yang terletak di tepian sungai di bawah jembatan Kizuna yang dibangun atas bantuan Pemerintah Jepang itu.

"Saya bersyukur ada wartawan Indonesia yang datang kemari. Saya dengar muslim di Indonesia banyak yang kaya. Siapa tahu setelah membaca tulisan Anda nanti, ada yang tergerak untuk memberi sumbangan kepada kami agar bisa merenovasi masjid ini," kata ustad Abdul Rosyid mewakili para jamaah ashar pada sore yang cerah, tetapi memberi kesan kegetiran itu. Betapa polos dan sepenuh hati harapan itu.

Sejumlah dusun di sana mendapat bantuan pembangunan sumur -fasilitas yang sangat dibutuhkan terutama pada musim kemarau- dari rakyat Malaysia dan Singapura. Bantuan untuk pembangunan masjid juga datang dari negara-negara muslim lainnya.

Walhasil, bayangan Putri Campa pun cepat berlalu, sesegera Anda menyaksikan kondisi kehidupan saudara-saudara kita di Chrua, salah satu bagian dari kampung muslim di Kampong Cham.

Sumber: SuaraMerdeka


| Free Bussines? |

Tidak ada komentar: