Selamat Datang di BLOG RINZI,PERJALANAN MENGGAPAI RIDHO ILLAHI

Senin, 18 April 2011

Perempuan Lain Kurnia

Kurnia sedang jongkok di depan kampus baranangsiang IPB menikmati udara sejuk di bawah perpohonan. “Fuuuh.” Kurnia menghembuskan asap rokok dari bibirnya, dia sedang membayangkan sesuatu yang sudah lebih dari 2 bulan ini selalu menyita pikirannya.

“Bos... ngelamun ajah.” Kata Eri menepuk punggung Kurnia, mengagetkan Kurnia dari lamunannya. “Lagi mikirin Istri ya? bentar lagi pulang mas... ga sabaran amat.”

“Sok tahu kamu... lagi ga mikirin istri.” ucap Kurnia datar sambil terus melanjutkan menikmati rokoknya.

“Loh kalau ga mikirin istri mikiran apa mas? wanita lain?hehehe.” Kata Eri sambil berjongkok disebelah Kurnia.

“Heh Tahu aja.” ucap Kurnia menyunggingkan senyum setengahnya yang khas. Dihisap rokoknya untuk terakhir kalinya. Lalu dilemparkan ke selokan. “Ayo lanjut kerja, malah santai-santaian disini.” Kurnia berdiri meninggalkan Eri.

“Eh mas...baru juga istirahat bentar udah disuruh kerja lagi. Capek neh mas.” Keluh Eri.

“Biar cepet pulang! Ayo!” Teriak Kurnia dari kejauhan seraya memberikan isyarat tangan agar menyusulnya.

---------------------

Entahlah, akhir-akhir ini perempuan itu yang bernama Shasa telah mempengaruhi pikirannya. Kurnia seakan-akan tersihir pada Shasa sejak pandangan pertama. Kurnia mengendarai motornya dengan pelan melewati jalan-jalan disekitar Pajajaran. “Fuuuh...” Kurnia mengeluarkan nafas panjang mengeluarkan beban-beban dipikirannya.

Tiba-tiba hujan turun sangat deras. Dengan tergesa-gesa Kurnia memarkirkan motornya di kios yang tutup. “Duh... Bogor ini kalau hujan ga bilang-bilang dulu.” Ucap Kurnia dalam hati. Kurnia jadi ingat istrinya yang selalu mewanti-wanti agar membawa jas hujan yang selalu ditinggal di ruang tamu. “Seharusnya aku bawa tadi.” sesal Kurnia.

Hujan makin lama makin deras. Tidak ada tanda akan berhenti. Kembali Kurnia melamunkan perempuan itu. Ia ingat-ingat lagi kapan ia jatuh cinta kepada Shasa. “Senyuman, tawa yang khas, tatapannya, wangi tubuhnya....aah aku sangat merindukannya.” pikir Kurnia. Matanya menatap langit membayangkan Shasa. “Bila dibandingkan dengan istriku...hm... aku sayang kedua-duanya, tapi Shasa beda.”

Derasnya hujan berganti dengan rintik-rintik air. Kurnia melanjutkan perjalanannya. “Aku merindukannya.” kata-kata itu menggema dalam pikirannya sepanjang perjalanan. Berhentilah ia disebuah rumah sederhana yang mungil. Di parkirkan motornya di teras rumah itu. Kurnia membuka pintu rumah tersebut yang seperti biasa Kurnia tahu tidak pernah dikunci kecuali sore sampai pagi. “Ceklek.” Udara hangat keluar dari dalam rumah ketika Kurnia membuka pintu. Dilepas sepatu yang basah hingga ia telanjang kaki. Berjalan pelan-pelan menuju sebuah kamar yang tidak jauh dari ruang tamu.

“Assalamu’alaikum...” Sapa Kurnia dengan lembut saat memasuki kamar. Dilihatnya Shasa yang sedang tertidur. Kurnia tersenyum, lalu pelan-pelan menghampiri ranjang tempat Shasa tidur. “Cantiknya...” guman Kurnia mengagumi kecantikan Shasa. Diciumnya pipi, kening, dan bibir Shasa dengan lembut dan penuh kasih sayang. Shasa terbangun, dan menatap mata Kurnia, tersungging senyum manis dari bibir Shasa yang membuat Kurnia bahagia. Dipeluknya Shasa dengan mesra lalu “Adaaaaaow....!” pipi Kurnia ditarik dengan keras. Ketika dia menoleh dilihat istrinya dengan muka marah dan kesal.

“Sudah berapa kali Asti bilang! Pulang kerumah itu cuci kaki dulu! cuci tangan dulu! bersih-bersih dulu! jangan langsung gendong Shasa! Habis dari mana-mana juga!” Kata Asti dengan marah. “Ayo keluar!” Asti menarik pipi Kurnia dengan lebih keras.

“Adooow... adooow...iya iya... bentar taruh Shasa dulu di tempat tidur.” Kurnia menaruh Shasa dengan lembut ke tempat tidur. “Abi mandi dulu ya sayang.” saat Kurnia mendekatkan wajahnya ke pipi Shasa hendak menciumnya.

“Nanti aja cium-cium nya! Mandi dulu!.” kata Asti sambil mencubit pipi Kurnia menghalangi Kurnia mencium Shasa. “Udah sana.” Asti mendorong Kurnia keluar pintu kamar.

“Da dah sayang.... nanti abi gendong ya.” Kata Kurnia melambaikan tangannya ke Shasa lalu menjauh dari kamar.

Shasa melihat kejadian itu tertawa dan berteriak terpingkal-pingkal. Entahlah...apakah ia mengerti atau tidak.
[ Read More.. ]

Baso Asti

Bulak-balik Asti keluar masuk rumah kontrakannya, gelisah menunggu sesuatu. Dari jam 5 sampai dia selesai sholat maghrib yang ditunggu tidak datang. Perutnya sudah keroncongan menagih di isi, padahal dirumah ada nasi, telur dan mie instan tapi Asti tetap setia menanti kedatangan tukang baso yang sering lewat depan gang kontrakannya, Asti yang lagi ngidam membayangkan baso adalah makanan mewah. Tapi ditunggu-tunggu tetap si tukang bakso itu ga nongol-nongol.

“Mas anterin...” rengek Asti ke suami.

“Kemana?” Kata suaminya.

“Beli bakso lah mas... Asti tunggu-tunggu dari tadi bakso nya ga muncul-muncul... Asti kan lapar.”

“Ya tunggu aja dulu sebentar lagi... “

“Maas....” rengek Asti lagi.

Suaminya yang tak tahan denger istrinya merengek terus, mulai mengalah. “Ok, mau beli dimana?”

“Di depan pasar Prawirotaman...”

Lalu pergilah sepasang suami istri ini berjalan kaki dari dimulai dari kuburan karang kunti sampai pasar prawirotaman. Ditemani bintang-bintang dan bulan yang bersinar, serta angin yang berhembus pelan saat melewati ratusan kuburan disepanjang jalan sambil bergandengan tangan. Sungguh suasana yang romantis bagi keduanya.

Sesampainya didepan pasar prawirotaman, senang sekali Asti melihat gerobak baso penuh dengan baso-baso sesuai dengan yang dibayangkan.

“Mas Basonya 1 bungkus.” Kata Asti kepada abang bakso.

Dengan cekatan si tukang bakso meracik. Beberapa menit kemudian selesailah, lalu diserahkan baso racikan si abang bakso ke Asti. Asti begitu bahagia menerima bakso itu. Tak sabar Asti ingin memakannya, bau khas dari daging dan kuah basonya menggoda selera Asti.

Asti heran kok suaminya tidak memberikan respon kepada abang bakso yang sedang menunggu pembayaran. “Mas.... bayar ich...” tegur Asti mengingatkan.

“Loh bukannya Asti yang bayar... Mas ga bawa uang.” Kata suaminya kaget.

Asti memucat... tidak rela Asti menyerahkan bakso itu kembali ke abang bakso. Dengan agak panik Asti merogoh-rogoh kantong jilbabnya yang kanan. “Tidak ada.” ucap Asti dalam hati. Lalu Asti melanjutkan dengan merogoh-rogoh kantung jilbabnya yang kiri. Ada selembar kertas dikantung jilbabnya. “Jangan sampai seribu... jangan sampai seribu...” doa Asti dalam hati sambil mengeluarkan uangnya pelan-pelan dari dalam jilbab. Fuiiih.... Asti bernapas lega, “PAS” lima ribu rupiah di kantung bajunya. Diserahkan ke abang bakso itu dengan senyum lega.

“Mas kenapa ga bawa uang sih? untung aja Asti nyimpen lima ribu di kantong. Coba kalo enggak?” Kata Asti kepada suaminya dengan nada menyalahkan dan ngambek.

Suami nya tersenyum lalu berkata “Ya... kalo enggak Asti tungguin di tukang abang bakso, Mas pulang dulu...”

Tersenyum lah Asti mendengar jawaban suaminya, suaminya rela pulang untuk mengambil uang. Pikir Asti.

“Trus ga balik-balik....hahahaha...” kata suaminya sambil tertawa lepas. “Adaaaow...sakit-sakit...”

Asti mencubit suaminya, “Uhh...” tapi Asti bahagia baksonya sudah ada ditangan. “Kita makan berdua ya dek.” ucap Asti dalam hati ke bayi diperutnya.
[ Read More.. ]

Bayam Asti

Aku ga bisa masak.” kata Asti setibanya dirumah kontrakan suaminya di Jogja untuk pertama kalinya.

Kurnia tersenyum lalu membelai kepala Asti yang tertutup kerudung. “Iya mas tau.”

“Tau darimana?” Kata Asti kaget. “Asti kan baru kasih tau sekarang.”

“Ya... tadi kan dikasih tahu..hehehe.” Ucap Kurnia dengan senyum nakalnya. “Nanti mas ajarin masak.”

“Mangnya bisa?”

“Wets... ngeledek... bisa lah... Mas mu ini udah bertahun-tahun hidup sendiri.” Kata Kurnia dengan bangga.

“Ok..ok...” ucap Asti setengah percaya, setengah tidak.

Esok harinya.

“Ayo kita kepasar.” kata Kurnia pada pagi hari.

“Jam segini?” tanya Asti kaget, karena jam menunjukkan jam 6 pagi. “Masih sepiiii pasarnya juga...”

“Norak...jam segini pasar malah rame...”

“Oh ya?” ucap Asti sekali lagi setengah percaya.

Berangkatlah keduanya menyusuri jalan. Melewati kuburan. Menyusuri gang-gang kecil. Menapaki jalan Prawirotaman. Dan sampailah mereka di Pasar Prawirotaman. Ternyata benar pasarnya ramai sekali, orang-orang berlalu-lalang. Kurnia menggandeng Asti menjelajahi setiap jalur pasar.

“Mau beli apa mas?” tanya Asti.

“Lihat dan pelajari.” Kata Kurnia santai.

Kurnia melakukan transaksi dengan penjual, tawar menawar harga, dengan bahasa jawanya yang kacau tapi bikin orang percaya Kurnia memang sudah lama tinggal di Jogja.

“Waaah...” ekspresi kekaguman muncul dari mulut Asti. Karena hal ini bukan hal biasa yang pernah dilakukan Asti, dulu sebelum nikah belanja di warung depan rumah saja sangat jarang sekali banget. Apalagi belanja di Pasar yang 100x lipat dari warung depan rumah Asti.

Kantong belanjaan ditangan Kurnia sudah penuh terisi, “Sayur Bening Bayam” itulah resep pertama yang akan dipelajari Asti dari Kurnia, suaminya.

Sesampainya dirumah, mulailah Asti bereksperimen.

“Buka Kantong plastiknya, dan keluarkan bayamnya.” Intruksi awal Kurnia.

“Ya iyalah mas, masa mau dimasak juga kantong plastiknya.” dikeluarkan semua isi kantong plastiknya.

Satu jam berlalu dipenuhi dengan kata-kata. “Bukan begitu.”, “Gini aja dek.”, “Jangan banyak-banyak.”, “Belum pas itu.” dari Kurnia.

Dan dijawab dengan Asti, “Ya ya.”, “Ooh.”.

Selesailah sudah belajar memasaknya Asti. “Lumayan...” kata Kurnia.

Asti tersenyum bangga dengan pujian Kurnia.

Besoknya Asti pagi-pagi berangkat ke pasar, membeli sayur, dan sesampainya dirumah langsung dimasaknya.

“Wah rajinnya...” Kata Kurnia memuji Asti. “Udah mulai pas nih bumbu sayur bening.”

Asti makin terbang hidungnya. Semangat untuk memasak menggebu-gebu.

Besoknya Asti melakukan hal yang sama.

“Masak apa dek?” tanya Kurnia.

“Sayur bening bayam.” jawab Asti.

“Bayam lagi dek?”

“Iyaa... mang kenapa?”

“Ga apa apa seh lanjutkan.” Sambil berlalu pergi.

Besoknya Asti melakukan hal yang sama lagi.

“Dek masak apa?” tanya Kurnia.

“Bayam Mas...” jawab Asti santai.

“Deeek jangan bayam terus... Mas mu ini bukan popeye.” Keluh Kurnia.

“Trus gimana? Asti sudah beli bayamnya. Masa dibuang.” Kata Asti dengan mata berkaca-kaca.

“Sudah, sudah... bayam ditumis aja ya?” kata Kurnia menghibur Asti.

“Bayamnya bisa ditumis ya Mas?”

“Bisa lah dek.... sini Mas mu ajarin.”

Lalu diajarkan Asti resep kedua “Tumis Bayam”.

“Gimana Mas? Udah mantab?” tanya Asti.

“Yup... sudah pas. Makin pintar saja istriku.” Puji Kurnia.

“Hehe...”

Besoknya...

“Masak apa Istriku?” tanya Kurnia.

“Tumis bayam mas!” jawab Asti.

[ Read More.. ]